Slutty Wife Anastasia: Cerita Seks Istri Cantik Dan Sintal Digenjot Dan Digangbang Kontol Lain Bersama Suami Cuckold Part 2.Semburat sinaran Sang Sol lembut menyapaku, pendarannya membelai hangat kelopak mata yang perlahan terbuka, menyadarkan separuh lelap yang tampak masih betah menggelayutiku dengan segenap rasa lelah.
Embusan penyejuk udara terasa pun begitu dingin menyapu tubuhku, masih teringat dengan jelas di ingatanku tentang apa yang terjadi semalam. Tubuh polos Annastasia bahkan masih tenggelam dalam lelap di atasku, menyisakan sebuah romansa yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Liang sanggamanya pun masih mengulum mesra batang kenikmatanku yang sudah tidak lagi perkasa karena sudah dua kali memuntahkan benih cinta di sana, bahkan dalam keadaan ini aku masih bisa merasakan betapa lezat dan nikmat vaginanya.
Dhika sudah pergi, kuusir lekas-lekas tatkala aku hanya ingin menghabiskan seluruh berahiku bersama Annastasia. Sungguh, apa yang telah terjadi tidak mengurangi sedikitpun rasa cintaku kepada wanita yang telah dua kali melahirkan anak dariku.
Bahkan, kelezatan bersanggama bersamanya terasa lebih nikmat setelah apa yang terjadi semalam, setelah ia dizinahi oleh keponakannya sendiri. Entahlah, namun rasa cinta di hatiku semakin membahana setelah ia mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini.
“Mah,” sapaku pelan, “bangun sayang.”
Tidak ada jawaban dari lisannya, selain sebuah pagutan lembut yang langsung melahap rakus sepasang bibirku. Seraya seluruh rasa itu kembali bangkit, Annastasia lalu menggerakkan dengan pelan pinggulnya. Liang sanggamanya yang begitu lezat pun menyiksaku dengan kenikmatan yang tidak bisa terelakkan.
“Puasin Mama lagiiih Paaah,” lenguh Annastasia.
Tubuhnya masih lekat mendekapku dengan begitu erat, sementara pinggulnya terus bergerak naik turun, mengeluarmasukkan penisku yang agak kesusahan menyesuaikan kencangnya otot-otot kewanitaan istriku.
“Pake memek Mama sampe kebas Paaaah!” Annastasia melenguh kembali seraya gerakannya semakin liar.
“Dasar Lonte,” bisikku di telinganya.
Sosok Sholehah Annastasia pun kembali berubah menjadi iblis seks dengan desah dan lenguh yang begitu menggairahkan, meningkatkan segenap bara berahi yang semakin menguasai tubuhku.
*****​
Zenit termenung disesaki oleh mega kelabu, dan akhirnya perlahan menurunkan muatannya untuk membasahi tanah Parahyangan yang tampak haus oleh basuhan curahan air langit yang semakin lama semakin lebat.
Tubuh sintal nan putih mulus Annastasia tampak tidak berdaya, tergolek dengan kedua tungkainya terbuka lebar, mempertontonkan sepasang gundukan vagina gundulnya, melelehkan benih cintaku dari dalamnya.
Dadanya naik turun, menyesuaikan napasnya yang masih terburu di atas rambut panjang kecokelatannya yang dibiarkan tergerai, berantakan di atas ranjang yang tidak lagi rapi semenjak perzinahannya dengan Dhika semalam.
Senyum penuh kepuasan tampak menyeringai dari sepasang bibir merah mudanya yang masih terlihat cantik di usia penghujung dua dekade itu. Sorot matanya masih sama seperti Annastasia yang kukenal 13 tahun yang lalu, begitu manja namun penuh dengan hasrat tak berujung.
“Mama gak sarapan?” tanyaku seraya membelai rambutnya.
Ia menggeleng, “udah kenyang peju,” seraya ia menjulurkan lidahnya.
“Puas, sayang?”
Ia lalu menggelengkan kepalanya, “belom Pah.”
Kuhela napas, kupandanginya dengan agak heran, “kan udah threesome beneran semalem? Pengen diapain lagi emangnya?”
“Gangbang,” ujarnya pelan, “Mama pengen dientot rame-rame Pah.”
Deg!
Rasa sesak langsung menghinggapi tubuhku, sulit rasanya untuk sekadar menghela napas ketika frasa lembut itu terlontar dari lisanku.
Seketika bayangan tentang tiga-atau-empat laki-laki lain bergantian menyetubuhi istriku, berzina dengan bebasnya menikmati santapan liang sanggamanya yang bahkan lebih lezat ketimbang sebelumnya.
Penisku yang sudah empat kali melesatkan mani panas dari lubang kencingnya pun langsung bereaksi, berdenyut begitu kencang seraya senyum mulai mengembang dari bibir indah Annastasia yang tampak tahu apa yang aku pikirkan saat ini.
“Papa gak siap,” ujarku singkat, “bahkan kalopun Mama main sama inner circle Mama.”
Ia tersenyum, jemarinya yang begitu lembut langsung menggenggam erat penisku, lincah menarikan ujung-ujungnya di titik sensitif batang kenikmatan yang juga sebenarnya tidak setia kepada liang sanggama Annastasia seorang.
“Mama gak akan lakuin tanpa restu kok,” ujarnya, “Mama akan nurut, kalo Papa gak bolehin, Mama gak akan lakuin.”
Kuhela napas, “Papa masih belum siap, meskipun tahu bakalan bikin Mama bahagia.”
“Cuma secara seksual,” sambung wanita itu, ia lalu menghentikan jemari mungilnya di kejantananku, membalik tubuh sintalnya, bersujud, menunjukkan keindahan liang sanggamanya gemuk dan gundulnya kepadaku, “restuin memek lonte ini buat dientot sama inner Mama ya Pah.”
Deg! Deg! Deg!
Pandanganku langsung buram, segala tipuan ablasa mulai merangsek, merasuki tiap-tiap detik hela napasku dengan janji kemaksiatan yang langsung terbayang begitu saja di kepalaku.
Rasa cemburu yang dibalut hasrat pun kembali menggelayuti asaku dengan segenap janji manis kenikmatan yang tidak pernah kurasakan.
Bayangan tiga-empat-lima-enam laki-laki memperkosanya habis-habisan, menjadikannya budak berahi yang akan menerima semburan mani panas yang tidak hanya akan menjejali lubang kencingnya, namum juga anusnya, mulutnya, dan seluruh tubuhnya.
Bahkan tangan-tangan haram mereka akan meremas penuh nafsu bejat sepasang payudara 36L yang begitu indah itu, seraya mulut rakus mereka akan menghabiskan air susu yang sengaja ia simpan dan akan menetes deras saat orgasme.
“Entot Mama saat Papa setuju,” ujarnya manja, “pejuin Mama tanpa buat Mama orgasme.”
Deg! Deg! Deg!
Mataku semakin buram, namun aku tak bisa menolak kelezatan ini. Seluruh bayangan yang terus muncul seolah menuntunku untuk menuruti berahi jalangnya agar mendapat restuku, disetubuhi banyak laki-laki dalam satu waktu.
Sleeeeeph!
Sleeeeeph!
Sleeeeeph!
Sleeeeeph!
Sleeeeeph!
“Aaaaaaaaaah! Peleeeeeeer Paaaapaaaah juaraaaaaaaaah!” Annastasia melenguh saat tanpa sadar penisku sudah tenggelam di nikmat dan hangatnya liang sanggama Annastasia yang langsung takluk dengan lima hunusan kuat penisku di lubang kencingnya yang merekah menyambut datangnya batang kenikmatan yang selalu ia banggakan.
Tanpa banyak kata-kata, kugenggam lekuk pinggang Annastasia yang juga sudah dijamah oleh keponakannya semalam. Dan dengan berahi yang memuncak, kugerakkan pinggulku dengan cepat.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaaak!
Istriku akan dizinahi laki-laki lain.
Tubuh indahnya akan dipenuhi peluh laki-laki lain.
Payudaranya akan diremas, dijilat, dan dihisap oleh Roy.
Liang sanggamanya akan dijajah dengan kasar oleh Doni.
Liang anusnya akan dinistakan dengan asal-asalan oleh Rian.
Mulutnya akan kewalahan melayani penis hitam Lingga yang tidak seberapa besar.
Nama-nama laki-laki yang dibenci Annastasia langsung muncul, dan terbayang dengan jelaa betapa beruntungnya mereka apabila bisa sampai menikmati Annastasia, hal yang selalu mereka inginkan.
Menjamah, menikmati lezatnya tubuh Annastasia Nadia yang selalu menjadi bahan fantasi mereka, mungkin hingga hari ini.
Seluruh berahi itu langsung berkumpul tatkala bayangan laki-laki itu menggauli istriku terputar begitu nyata di kepala ini.
Kejantananku pun begitu kuat berdenyut, seraya maniku langsung terasa mengalir begitu kuat dari pangkalnya, memberikan rasa nikmat di sekujur batang pelirnya.
Kuhentakkan pinggulku kuat-kuat.
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeet!
Creeeeeet!
Creeeeeet!
“Ooooooh! Maaaaaaaaaaaaah!”
Aku seolah benar-benar merestui istriku untuk digauli oleh banyak pejantan sekaligus saat letupan mani panas itu membasahi rahimnya untuk kelima kalinya setelah Shubuh ini.
“Papa restuin, tapi sama Doni, Rian, Roy, sama Lingga.”
“Aakh!” Annastasia langsung terkejut seraya melepaskan penisku dari liang sanggamanya.
“Kok mereka?”
Aku tersenyum, “Pah maunya mereka, kalo yang laen Papa gak izinin.”
Annastasia lalu menggelengkan kepalanya, “yaa gak mau lah Pah.”
Aku lalu mengangguk, “karena itu makanya Papa cuma izinin sama mereka.”
“Jahaaaaaaaat,” teriaknya kecil, dan aku pun menyambutnya dengan tawa.
“As a punishment,” ujarku di akhir kelakar ini, “put your dress without underwear.”
Wajah putih susu Annastasia langsung memerah, padam ditenggelamkan bayangan berahi yang mungkin masih ia rasakan saat ini. Air wajahnya bahkan menunjukkan ekspresi tidak percaya tatkala aku hanya melemparkan senyum ke arah wanita sintal ini.
“Ta … tapi, Mama malu Paah,” ujarnya manja.
“Mama itu udah jadi lonte, sekali-kali biarin laki-laki laen nikmatin terawangan badan Mama.”
Deg! Deg! Deg!
Sungguh seluruh dadaku langsung terasa sesak saat frasa tersebut terlontar dari lisanku, disambut dengan anggukkan pelan, mengafirmasi permintaanku yang mungkin tidak pernah teruntai.
“Mama harus nurut dan patuh sama Suami,” Annastasia sejurus memagut pelan bibirku seraya tarian lidah mengakhirinya.
*****​
Annastasia kembali menjadi sosok Istri cantik dengan dress seksinyaa saat kami sarapan di pagi yang diguyur oleh curahan air langit ini. Namun semuanya terasa begitu berbeda ketika puting mungilnya terlihat sedikit menyembul di balik hijab panjang yang ia kenakan.
Aku sengaja mengajaknya mengelilingi kompleks hotel ini, membiarkan laki-laki asing menikmati tubuhnya yang menerawang indah di balik gamis dan hijabnya.
Hingga kami tiba di pintu masuk restoran, ketika beberapa orang mengetahui dengan jelas apa yang tersembunyi di balik apa yang Annastasia kenakan.
Bahkan aku sengaja meremas bongkah pantatnya, sontak segerombolan mata serigala berusaha menelanjanginya. Namun, ia tidak tergoda dengan pesona beberapa laki-laki tampan yang banyak memperhatikannya di restoran ini.
Itulah Annastasia.
Ia akan menjadi monster tanpa belas kasihan ketika bertemu dengan laki-laki asing. Tidak segan ia memandang tajam, mengusir lekas-lekas mata mereka yang hanya sekadar memandang wajah cantiknya.
Namun ia akan menjadi anjing jalang saat bertemu dengan inner circle nya, yaitu lelaki yang kuizinkan dekat dengannya. Meskipun baru Dhika lah yang benar-benar kuizinkan berzinah dengannya semalam.
Ia benar-benar anggun dengan dress abu pirus yang membuat kulit putihnya terlihat menyala. Wajahnya yang selalu dihiasi dengan kacamata Wellington pun membuat aura keindahannya semakin memancar.
Pandangannya yang teduh dan menenangkan dari sorot matanya seolah tidak mencerminkan kebinalan yang tersimpan di balik senyuman nakalnya, sesekali ia lontarkan seraya pagutan jemarinya terus saja melekat di jemariku.
Sarapan yang sebenarnya sudah terlalu siang ini pun berakhir ketika ia sudah kenyang, ia tidak dapat menyembunyikan bahwa masih asa seutas berahi yang teruntai dari sorot matanya yang masih liar. Dan sebuah ide gila yang tidak pernah terlintas pun menggelora di dalam asaku.
Kurangkul tubuh sintalnya, langkah ini kembali mengajaknya berkeliling sekali lagi, melewati beberapa laki-laki yang langsung mengetahui bahwa tubuh indah istriku tidak terbalut pakaian dalam.
Kuajak wanitaku naik dua lantai ke atas, mencari satu titik di mana tidak ada CCTV mengarah ke sudut ini, dan kuarahkan tubuh istriku ke barisam laki-laki yang berada tujuh-delapan-meter dari perimeter kami.
“Mah,” ujarku lalu berdiri di belakang tubuh Annastasia, “mereka tahu tuh Mama gak pake bra.”
Sejurus, kuremas sepasang payudara besarnya dari belakang. Tubuhnya sekonyong-konyong terhentak seraya kedua tanganku sibuk meremas dan memilin putingnya.
“Paaah! Aaaaah! Mamaah diliatiiinh!” Annastasia melenguh, seraya tubuhnya sedikit meronta dengan apa yang kulakukan.
“You enjoy it, slut?” ujarku di telinganya.
“St … stop it honeeeey!” Annastasia melenguh, kali ini lebih keras, dan sontak semua laki-laki yang berada di posisinya menyeringai ke arah istriku.
“You’re a cheap whore, Anna.”
Kuremas lebih keras payudaranya, seraya perlahan bajunya membasah, air susunya masih merembes keluar begitu banyak ketika putingnya terus kupilin.
“Sto … stoooph it deaaar!” lenguh Annastasia.
Tubuhnya yang awalnya meronta, kini akhirnya melemas, membiarkan sepasang tanganku untuk terus menjamah tubuhnya di depan laki-laki asing yang terkekeh memperhatikannya.
Belum puas kurendahkan harga dirinya, kini kusingkap hijab panjangnya, seraya kuturunkan resleting bajunya.
Dan menyembulah sepasang payudara 36L dari dalamnya, terbebas menggantung seraya kusingkap tinggi-tinggi bagian bawah gamisnya. Annastasia langsung menaikkan tinggi-tinggi sepasang bongkah pantatnya, menunjukkan lagi liang sanggamanya yang merah merekah.
“Fuck me hard!” lenguh Annastasia, “fuck me in front of them.”
Kugenggam lekuk pinggulnya, seraya ia langsung menumpukkan kedua tangannya di handrail yang berada di depan tubuh setengah telanjangnya.
Itu sama saja menunjukkan sepasang payudara besarnya untuk tergantung indah, membiarkan para lelaki di bawah sana menikmati keindahan ini.
Kuarahkan pelir ereksiku ke liang sangamanya, dan ini adalah pertama kalinya Annastasia kugauli dengan dress lengkap, dan sensasinya benar-benar berbeda.
Sleeeeeeeeeeph!
Sleeeeeeeeeeph!
Sleeeeeeeeeeph!
Sleeeeeeeeeeph!
Sleeeeeeeeeeph!
Sleeeeeeeeeeph!
Enam kali hunusan kuat kuarahkan di liang sanggama Annastasia yang bersuka cita menerima kedatangan pelir kesayangannya, kebahagiaan itu ditranslasikan dengan denyutan dan remasan otot-ototnya, seolah bersorak gembira akan tuntasnya berahi yang teruntai.
Cplaaaak! Cplaaaaak! Cplaaaak!
Dengan menggenggam gemas lekuk pinggulnya yang sengaja kututup dengan dress abu pirusnya, Annastasia mulai menyamai ritme gerakan rekursifku. Tubuh sintalnya tampak bergoyang, tanpa sedikitpun suara terlontar dari lisannya.
Ah! Mengapa aku begitu tergila-gila dengan perasaan ini?
Sungguh, menyetubuhi Annastasia masih dalam pakaian seksinya terasa amat menyenangkan. Terlebih beberapa laki-laki di bawah tampak tidak malu menunjukkan pelir yang diusapnya sendiri.
“See, how much you cheap, whore?”
“Aah! Aah! It’s embarassing me much!” lenguh Annastasia.
Cplaaaak! Cplaaaaak! Cplaaaak!
Tubuh Anna tampak bergetar begitu hebat seraya ia makin menekan pantatnya ke arahku. Seraya laki-laki yang berada di bawah sana semakin berani beronani di depan kami.
“I’m cuuuummiiiing! Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!” Annastasia melenguh agak keras, ia tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Tubuhnya menggelinjang hebat, tatkala orgasme di sudut hotel ini tampak membawanya terbang menikmati kelezatan orgasme yang begitu panjang.
Saat ia masih menikmati puncaknya, kucabut kejantananku dari liang sanggamanya yang masih berselebrasi dengan keparipurnaan berahi yang sengaja kuhentikan.
Annastasia langsung melemas, ia menoleh ke arahku dengan wajah yang merah, “kok udaaaaah Paaaaah?”
Aku tersenyum, “Papa sengaja bikin memek Mama gatel, biar semakin liar di kamar.”
Kurapikan kembali pakaian Annastasia, wajahnya masih padam, menahan bara berahi yang tampak belum tuntas. Aku sengaja menyiksa hasratnya, karena pikiranku sudah semakin liar akibat peristiwa semalam.
Kurangkul tubuh sintal istriku untuk kembali ke kamar, melewati lelaki yang tadi menikmati persanggamaan singkat kami. Bahkan aku memerintahkan Annastasia untuk tersenyum ke arah mereka, meruntuhkan harga dirinya yang sudah tak bernilai.
Sesampainya di kamar, aku langsung mandi, meninggalkan Annastasia yang masih tersiksa dengan berahinya. Ia berulangkali memohon disetubuhi olehku, namun kutolak.
Selain karena panggilan siang sudah berkumandang, aku punya janji kepada Tania, anak dari klienku yang juga kekasih Dhika. Selepas kutunaikan kewajibanku, aku meninggalkan Annatasia di kamar sendirian setelah kukecup mesra bibirnya.
“Papa izinin Mama di gangbang sama enam cowok tadi,” ujarku, “silakan ngentot sepuasnya selama Papa di Tania.”
Tidak ada jawaban kecuali senyum di atas bibir merahnya yang langsung melahap bibirku. Setelah kami berciuman, aku pun langsung memimpin langkahku menuju GGL15 yang kami bawa ke sini. Dan mendapati satu dari laki-laki tadi mengikuti langkah kami ke sini.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepada laki-laki itu.
Hujan deras masih saja mengguyur Ibukota Provinsi Jawa Barat saat Pirelli P7 Cinturato berukuran 235/60 R18 yang terpasang di keempat roda kendaraan ini mulai membelah aspalnya dengan begitu percaya diri.
Tenaga mesin 274 daya kudanya disalurkan ke seluruh ototnya dengan proporsi roda depan lebih banyak. Jujur saja, transmisi transaxle 6 percepatannya sangat lambat, mode berkendara All-Wheel-Drive nya pun begitu tidak berguna. Namun segalanya masih bisa dimaafkan dengan kenyamanan dan tenaga mesin 2GR-FE yang dirasa sangat melimpah.
Kuhubungi Tania, kekasih Dhika yang merupakan asisten Pak Endro, direktur utama salah satu rumah sakit swasta di Bandung. Beliau tidak lain adalah Ayah dari wanita itu, dan kami memang sedang ada urusan pekerjaan pengadaan sistem untuk instansi yang dikepalai olehnya.
“Om Alfa, jadi ke sini?” Tania langsung menyahut sekejap saat jalur teleponnya tersambung.
“Jadi Tan,” ujarku singkat, “Pak Endro ada?”
“Emmm, gak ada Om.”
“Tapi titipin ke Tania aja gak apa-apa kok.”
Kuhela napas, “yaudah, saya sebentar aja ke sana.”
“Gak apa-apa Om, masuk aja dulu, soalnya Papa minta aku buat cek dulu.”
Kuhela napas, sekali lagi, “okay, sebentar aja ya.”
*****​
Rumah Pak Endro tidak jauh dari hotel lokasiku menginap, sebuah rumah besar berukuran dua-puluh-kali-empat-puluh-meter di lokasi bergengsi di Kota Bandung. Anak perempuan pertamanya bahkan begitu hangat menantiku, tersenyum seraya melambaikan tangan tatkala kendaraan ini tiba di depan rumahnya yang pagarnya sudah terbuka.
Tania adalah mahasiswa kedokteran di salah satu Universitas di Jakarta. Karena kegiatan belajar mengajar belum dimulai, ia pun masih memilih untuk berada di kediaman orangtuanya sebelum mungkin akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.
Ia adalah wanita yang cantik, tingginya sekitar 165 cm, kulitnya sama putihnya dengan Annastasia. Rambutnya panjang bergelombang dengan warna kecokelatan yang berasal dari pewarna rambut, sungguh semakin menambah pesonanya.
Hidungnya mancung dengan tatapan mata tajam, dihalangi oleh kacamata Wellington berwarna cokelat dengan motif camo yang membuatnya semakin menarik.
Tubuhnya cukup sintal, bentuk tubuhnya yang seperti jam pasir dihiasi dengan payudara 36D yang masih begitu kencang dan montok. Dan kali ini terlihat begitu indah ketika ia mengenakan tank top berwarna putih dengan kerah rendah menampilkan cleavage nya yang begitu indah dengan puting yang terlihat menonjol di bagian tengah payudaranya.
Ini adalah kali ketiga ia mengenakan pakaian semodel, bahkan ia mengenakan celana super pendek yang mempertontonkan paha putihnya yang begitu montok, menerawangkan liang sanggamanya yang tidak ditutupi kain lain lagi setelahnya.
“Masuk dulu Om,” ujarnya lalu menghampiriku, “soalnya Tania mau tahu isi prototype nya.”
Kuhela napas seraya memandang ke arahnya, “okay.”
Sepasang pintu rumah besar sudah terbuka, menyambut kedatanganku seraya aura kemewahan langsung terpancar ketika aku melihat apa-apa yang diletakkan di sekitarnya.
Ia memimpin langkahnya, memasuki rumah mewahnya yang begitu sepi sebelum akhirnya wanita ini menutup pintu dan menguncinya. Ia akhiri dengan senyuman yang aku tiada paham maksudnya.
Sungguh heran itu langsung mendekap pikiran ini dengan apa yang ia lakukan barusan, namun aku tidak megambil pusing. Aku hanya ingin menyerahkan prototype pekerjaan yang Ayahnya pesan lalu pulang, lekas-lekas menuntaskan berahi Dian yang masih membara.
Ia terus berjalan di atas marmer kelabu yang menjadi pijakan kami, menyusuri tangga besar dan menuju ke salah satu pintu yang ada di ujung ruangan di lantai atas ini, hingga langkah kami terhenti di dalam kamar yang memiliki aroma sangat nyaman
Ini adalah kamar Tania.
Ruangannya cukup besar, sebuah ranjang California-King dengan balutan seprei sutra tencel berwarna jingga berada di tengah, tak jauh dari pintunya. Di ujung lainnya terdapat jendela besar yang tirainya ia biarkan terbuka, mengarah ke halaman belakang yang begitu luas dan hijau.
Meja riasnya sejajar dengan lemari yang ada di bagian kiri ruangan ini, sementara kamar mandinya ada di belakang ranjangnya, memiliki kaca yang dijadikan pintu sekaligus tembok, sehingga bisa terlihat aktivitas yang ada di dalamnya.
Tania lalu mengunci pintu kamarnya, ia lalu tersenyum dengan wajah yang sangat merah. Jemarinya langsung meraih jemariku, seketika bibirnya yang merah muda langsung mengisap telunjukku.
Deg!
Desir berahi yang kusimpan untuk menggempur wanita jalangku langsung bereaksi, meletupkan gairah yang langsung mencuat, mengisi pelirku dengan panasnya hasrat yang langsung terlihat dari balik celana pendekku.
“Tan, hei hei,” ujarku, lekas-lekas melepaskan jemariku yang barusan dihisapnya.
Wanita itu tersenyum, penuh berahi yang tersirat dari sorotan matanya yang sesekali memandang ke arah celanaku, “kenapa sih, Pah?”
Deg! Deg! Deg!
Sesak rasanya mendengar ia melontarkan frasa itu, dari mana ia memperoleh ide untuk memanggilku dengan Pah?
“Kaget ya Pah?” tanyanya lagi, “aku tahu dari Tante Anna kok.”
Dadaku masih sesak mendengar frasa itu terlontar dari lisan Tania yang saat ini kembali lagi mengulum telunjukku. Sesekali lidahnya terasa menyapu dengan begitu lembut, membangkitkan berahiku dengan begitu cepat.
Tania lalu tersenyum, ia berlutut dan langsung menghadapkan mukanya ke celana pendekku yang menyimpan pelir ereksi di dalamnya.
“Berapa banyak ya, memek yang bahagia sama peler ini?” Tania lalu mendaratkan jemarinya di atas penisku.
Deg!
“Tan,” ujarku, mencoba untuk tersadar, “stop.”
Ia masih tersenyum, “udah seminggu Dhika gak ke sini Pah.”
Deg!
Frasa manja itu terlontar lagi dari lisannya, jemarinya bahkan lebih kurang ajar lagi merangsang penisku, menyembulkan berahi yang langsung memuncak begitu dahsyat tatkala wanita ini memandangku.
Wajahnya memerah, tersenyum dengan seringai iblis nan binal, mirip seperti Annastasia ketika lubang kencingnya tidak sabar digauli oleh pelirku.
Perlahan, ia meraih ujung celanaku, dan ia pun menurunkannya.
Penis hitam beruratku langsung berdiri tegak di depan wajah putih Tania.
“Aaaah,” ujarnya, “kontol Arab ini maaah,” ia melenguh.
Secepat kilat ia meraih batang kenikmatanku, menggenggam dengan jemari lembutnya, mengocoknya pelan, naik dan turun.
Seraya ia lakukan itu, napasnya terlihat terburu, tersengal begitu cepat dan menaikturunkan dadanya. Pandangannya mulai berubah, sejurus wajah merahnya memandangku dengan mata yang penuh berahi.
Deg!
“Tan, stop,” ujarku, tetap berusaha sadar ketika sepasang bibirnya mengulur buah zakarku seraya tangannya mengocok agak cepat penisku.
Sluurrph! Sluurrph!
Tiada lisan yang tercipta selain simfoni gairah yang menggema di seluruh ruangan, membangkitkan nafsu binatangku yang seolah mematikan segenap saraf sadar ini.
Deg! Deg! Deg!
“Tanth, Stoppph,” aku melenguh, mencoba tersadar dalam deraan nikmat yang tercipta dari sapuan lidahnya dari pangkal sampai ujung pelirku.
Sluurrph! Sluurph!
Tania semakin menggila, ia membenamkan penisku di sepasang bibir merah mudanya yang tipis, merangsang kejantanan besarku dengan agak kewalahan.
Seraya ia menarikan lidahnya di ujung pelirku, ia lalu memandangku, tersenyum dengan air muka yang begitu membangkitkan mahligai gairah di tubuh ini.
“Tania gak pernah nikmatin nyepong kontol sebelumnya.”
“Tapi, Tania suka nyepongin kontol Papa Alfa.”
Deg!
Frasa itu teruntai lagi, begitu manja.
Ia lalu beranjak dari posisinya, melepas bajunya di depanku, seraya konsisten melontarkan senyum penuh berahi, hingga ia dengan entengnya menurunkan celana pendeknya.
“Tania itu pereknya Papah Alfa.”
“Tania itu pecun, pelacur, jablay, lonte, sundal.”
TANIA
Ia lalu meraih sebuah kalung anjing, jelas tertulis di sana Tania Arneta yang diukir dengan huruf kapital.
“Tania adalah anjingnya Papah siang ini,” ujarnya lalu mengalungkanya sendiri di lehernya, “entot nonok Tania ya Paaah.”
Deg! Deg! Deg!
Entah.
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana dirinya tiba-tiba menjadi seperti ini.
Ia lalu berlutut, menjulurkan lidahnya dan memandangku, “anjing harus ngapain Tuan Papah?”
Kuhela napas, menggelengkan kepala pelan seraya tersenyum kepadanya, “saya mau tanya dua hal?”
“Apa Tuan Papah?”
“Apa kamu mau begini terus, jadi peliharaan saya?”
Ia mengangguk pasti, “anjing Tania siap Papah Alfa.”
Kulihat ada beberapa kondom tergeletak di cupboard yang mengimbangi ranjangnga, ekspektasi wanita itu adalah seks aman tanpa meneteskan sperma di rahimnya.
Padahal bagiku, konsep bersanggama adalah menyemburkan benih cinta untuk saling bersinergi di dalam rahim.
Kugelengkan kepalaku seraya menatapnya, sorot mata Tania yang penuh birahi seolah menghapus seluruh batasan di antara diriku dan juga sosoknya yang tidak lain adalah kekasih dari Dhika, keponakan kesayangan Annastasia.
Kudekatkan tubuhku, ia lalu menyambutnya dengan senyuman yang begitu lebar, seolah menyuratkan elegi penyerahan diriku yang tergoda untuk menggaulinya siang ini.
Kutarik kalung anjing yang sudah dilengkapi rantai itu, kuseret tubuh Tania untuk mengikuti role playing yang ia inginkan. Sungguh aku ingin sekali memberikan sebuah pelajaran bagi wanita ini.
Kulepas kalung anjingnya, dan kuangkat tubuh wanita itu, “aku gak suka seks aneh-aneh kayak begitu Tan.”
Sejurus aku langsung meraih tubuhnya, melumat ganas sepasang bibirnya dan langsung kulepas lagi, “aku pemuja vanila seks Tan.”
Kuraih kedua payudara 36D miliknya yang begitu ranum, kuremas begitu gemas seraya memainkan sepasang puting cokelatnya yang begitu mungil.
“Paaah! Aaaaah!” Tania melenguh, menikmati sapuan lidahku yang mendarat di puting kanannya.
Tubuhnya langsung terhipnotis oleh deraan kenikmatan yang kuciptakan dari simfoni remasan dan sapuan lidah yang menggempur sepasang payudara indahnya.
“Enaaakh Paaaaah!” Tania melenguh lagi, kali ini ia menjambak rambutku seraya sesekali menekan dadanya untuk semakin digagahi oleh lidahku.
Kulepas pagutan bibirku di atas puting mungilnya, kutatap lagi wajah cantiknya yang begitu sayu. Wajahnya memerah tatkala aku mengembangkan senyuman yang terutas menyambut desah napas yang begitu terburu.
“Kamu tahu,” ujarku seraya memundurkan tubuhku, dua-tiga-langkah ke belakang, “udah banyak orang yang aku nodai.”
“Kenapa kamu mau sama aku?”
Tania terdiam, ekor matanya masih menyorot ke arahku, sapuan pandangnya sesekali menuju ke arah pelirku, lalu kembali menatapku.
“Gak tahu Pah,” ujarnya, begitu manja, “mungkin karena Tante Anna yang udah sering ngirim videonya pas diewe sama Papah.”
Deg!
Apa-apaan wanita itu? Sungguh aku hanya bisa menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang.
Tania lalu menerjangku, menjatuhkanku di atas ranjang pillow top yang terasa begitu empuk ketika tubuh ini terhempas. Ia lalu meraih alat kontrasepsi di sebelahnya, namun dengan cepat kutahan.
“Eh Pah?”
Aku tersenyum, “aku bukan Dhika, yang bisa nikmatin memek pake kondom.”
Dengan brutal, kutarik tubuh Tania, kuhempaskannya di atas ranjang. Wajah memerahnya langsung berubah, pucat pasi tatkala kedua tangannya langsung kutahan di sebelahnya.
“Pah! Aaah! Jangaaan!”
Tubuhnya meronta-ronta begitu kuat ketika kedua tungkainya kutahan begitu ketat dengan pahaku.
Sungguh berahiku tampak langsung membucah, meledak begitu dahsyat di dada. Rasanya aku ingin segera menuntaskan itu semua di dalam liang sanggama Tania.
“Pleasee don’t bare fuck me!” Tania melenguh namun tetap memberontak.
“Pleaseee!”
Kulepas genggaman tanganku di pergelangan tangannya, kali ini aku tersenyum, “kalo kamu pikir seks adalah tentang paksaan dan crot semata.”
“Afwan, ana bukan laki-laki macem begitu.”
Kucumbu lagi bibir merah mudanya yang langsung terbuka ketika kecupan itu hanya kudaratkan di bagian pinggir bibirnya. Bahkan aku hanya menghisap pelan bibir bawahnya, menarikan sejenak lidahku di ujung-ujung lidahnya.
Ia ingin mencoba menjadi alpha female di hadapan laki-laki yang sudah banyak menaklukan arogansi mereka. Aku paham bagaimana memanjakan wanita bahkan sejak usiaku masih belasan.
Termasuk kekasih Dhika yang sudah tersaji polos tanpa sehelai benangpun menghalangi keindahannya.
Dan, wanita manapun tidak akan bisa menahan gejolak hasrat saat titik ini dirangsang dengan benar. Yang terpenting akses ke tubuhnya sudah dinyatakan dengan semboyan 5.
Cukup kecupan kecil yang membuat penasaran. Dan hal ini langsung terasa kepada Tania, tubuhnya mulai melemas, sejurus dengan bibirnya berusaha mencari bibirku untuk dipagutnya.
Namun kutepis itu semua, kubiarkan ia terlena dengan siksaanku.
Ia tidak tahan dengan rangsangan itu, jemari lembutnya menyisir rambutku dan menarikku untuk mencumbunya lagi, namun tetap kutepis, kubiarkan tubuhnya didera hasrat yang menggebu, terbudakkan dengan syahwat haram yang menjalar di tiap milimeter aliran darahnya.
“Pleaseeee! Paaaaah!” Tania mendesah, ia menjulurkan lidahnya, “kiss me moreeee.”
Kugelengkan kepalaku, dan kini giliran rangsangan kedua yang kulancarkan di kedua puting payudara 36D miliknya
Kupertemukan kedua ujungnya di tengah sejurus aku mulai melumat sepasang puting mungil cokelat berdempetan itu dengan tarian Lingua yang memutarinya.
“Aaah! Paapaaaah! Aaah! Aaaah!” Tania mulai melenguh lagi, menikmati tikaman syahwat yang sedikit demi sedikit mulai memagut tubuhnya.
Ia menikmati stimulus itu, kepalaku bahkan terus ditekan-tekan, menyuratkan kesukacitaannya ketika berahi haramku menjajah harga dirinya, lebih rendah dari apapun kini.
Setelah beberapa saat aku menjajah sepasang payudaranya, bibir kotorku kembali lagi merangsang sepasang bibir merah muda yang langsung memagut erat-erat bibirku dengan syahwatnya yang membahana.
Aku melakukan ini berulang-ulang, membiarkan seluruh tubuhnya lumpuh, dipenuhi testoterone yang mengucur deras, menguasai saraf parasimpatiknya dengan berahi yang pasti langsung membuncah.
“Entootin aku Paaaah!” Tania melenguh, agak kencang, lebih kepada sebuah ekspresi perintah ketimbang permohonan.
Alih-alih mengacuhkan lisannya, aku justru mendera lagi kedua putingnya dengan sapuan lidah yang membuatnya menggelinjang, tubuhnya meronta diantara desir nikmat yang terus-menerus terekskalasi, menuju satu titik kenikmatan yang mereka sebut sebagai orgasme.
Dan ketika getaran tubuh wanita ini semakin intens, kuhentikan sapuan lidahku.
“Paaaaaah! Aaaah! Pleaaaaaaseee!”
Dadanya naik turun, terharmonisasi dengan terburunya napas, tersengal di atas wajah merah padamnya yang masih terhalang oleh kacamata Wellington yang membuatnya semakin menggoda untuk dituntaskan.
Kuulangi lagi, kudera lagi seluruh syahwatnya.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Pleaaaseeeee Paaaaah! Finish meeeee!”
Kuhela napas seraya tetap menahan berahiku sendiri ditranslasikan dalam aliran darah yang berdesir, mendesak seluruh nafsu itu dalam ereksi yang begitu kencang.
“Kamu bukan alpha female, Tania Arneta.”
“Kamu peliharaan saya,” ujarku lalu menjauhi tubuhnya, “tunjukkan rasa hormatmu kepada tuanmu.”
Tania langsung beranjak, menerjangku, sekonyong-konyong hampir menjatuhkanku dari ujung ranjang. Jemari lembutnya langsung meremas lembut skrotumku, sementara sepasang bibir merah mudanya langsung melahap kejantananku.
Oh!
Rasanya begitu nikmat sejurus mulut hangatnya tampak sedikit kewalahan menenggelamkan pelirku di sana. Tarian lidahnya terasa begitu fasih menyapu glans penisku, sesekali rangsangan itu menari lincah di lubang kencingku.
Kujambak pelan rambutnya, wajah merahnya langsung terangkat, menatapku dengan air muka yang begitu sayu, “Tania harus apa, tuan Alfa?”
Aku tersenyum, “sekarang, aku mau kabulin satu permintaan kamu, Tania Arneta.”
Ia lalu merubah posisinya, melebarkan tungkainya, menunjukkan keindahan liang sanggama yang sudah merekah dan dibasahi oleh cairan cintanya yang meleleh di sana.
“Entotin aku Paah!”
“Kamu kan calon dokter,” ujarku, “pake bahasa medis, biar saya paham apa itu entotin.”
Wajahnya memerah, seraya senyumku mengembang ke arahnya. Sudah menjadi fetish untukku, tunduknya wanita yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dalam pagutan syahwat.
Bagiku menjajah liang sangga wanita cerdas adalah salah satu kebanggaan tersendiri. Bahwa setinggi apapun mereka menilai dirinya, syahwat akan selalu meruntuhkan harga diri mereka.
Ia menggeleng, “Tania beluum sampe sanaaah.”
Kuanggukkan kepalaku, “sebut angka 28 dalam heksadesimal.”
Ia sedikit menghela napas, “Kalooh 16 itu 10, berarti 12 itu C, 1C Pah, 1C.”
Kudekatkan tubuhku, seraya mengarahkan kejantananku di ujung liang sanggamanya yang begitu terasa hangat.
“Aaah! Entoooot Paaaah!”
Kudekap tubuhnya seraya ia langsung menyambutku dengan pagutan yang langsung mengunci tubuhku. Bahkan sepasang tungkainya melingkar di pinggangku.
Kukecup ringan telinganya.
“Jelasin sama aku, apa itu entot.”
“Masukiiin peler ke dalem memeeeek,” lenguhnya seraya tubuhya berusaha untuk memaksakam liang sanggamanya untuk melahap penisku.
“Peler siapa ke memek siapa?”
“Peler Papaaah Alfaa ke memeek Taniaaaah,” lenguhnya seraya tubuhnya semakin meronta dalam deraan syahwat yang tiada bisa mungkin ia bendung lagi.
“Tania itu banyak, Tania yang mana?” aku terus menggodanya dengan pertanyaan itu.
“Aaaah! Taniaaa Arnetaa bintii Endro Prakosoo.”
“Sebutin yang lengkap, baru saya kabulin,” ujarku seraya sedikit menekan pelirku untuk bersiap menggagahinya.
“Aaah!” Tania melenguh, sejurus saat kugoda berahi yang terpusat di liang sanggamanya termanjakan oleh belaian kepala pelirku yang belum kubenamkan ke dalamnya.
“Entooot ituuu…,” lenguhnya, “masukin peler ngaceng Alfa ke dalem memek Tania Arneta binti Endro Prakosoooh.”
Sleeeeeeeeeph!
“Aaaaaah!” Wanita itu mendesah tatkala kepala penisku membelah liang sanggamanya yang tidak seketat milik Annastasia.
Deg! Deg! Deg!
Resmi sudah dosa itu teruntai saat kepala penisku menzinahi liang sanggama Tania yang terasa begitu hangat.
“Segini cukup, Tania Arneta?” bisikku di telinganya.
“Masuuuuukh lagiiiih!”
“Apanya?” bisikku lagi.
“Peler Papaah Alfaaaah di memeeek Tania Arneta binti Endro Prakosooh…,” ia mendesah begitu bernafsu, “pleaaaaseee.”
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaaaaaakh! Aaaaaaaaaakkhh!” Tania berteriak, separuh pelirku sudah menjajah liang sanggamanya yang baru terasa ketat saat ini.
Kutegakkan kepalaku, memandang wajah cantik Tania yang berubah amat merah, mulutnya sedikit terbuka, sejurus dengan alis dan dahinya yang sedikit mengernyit.
“Pelaaaan Paaaaaah! Pelermu kegedeaaaaaan.”
Aku melemparkan senyum kepadanya, “segini cukup Tania Arneta?”
Ia menggelengkan kepalanya cepat, “semuaaaa sayaaaang! Semuaaaaah pelermuuuuh!” Tania melenguh lagi.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaakh!” Tania berteriak, sangat kencang, bahkan tubuhnya tampak terhentak begitu keras saat kurasakan ujung pelirku mengecup mesra serviksnya.
“Saa … sakit sayaaaaang!”
Aku amat menikmati ekspresi Tania, ketika pelirku berhasil menzinahi vaginanya, sama seperti wanita lain yang baru pertama dijajah oleh kejantananku.
Wajahnya begitu merah padam, seraya matanya dipejamkan begitu ketat. Menahan rasa aneh yang mungkin menyesaki liang sanggamanya saat ini.
Tidak ada lisan yang teruntai, hanya simfoni napas terburu, melantunkan syair kenikmatan yang terembus dari tiap hela napas Tania saat ini.
Kubiarkan liang sanggamanya beradaptasi dengan kekar dan kerasnya kejantanan hitamku di sana. Menikmati pijatan otot kewanitaan yang masih sangat terasa ketat di dalamnya.
Remasan liang sanggamanya terasa semakin kuat sejurus ia menggerakkan naik turun pinggulnya, mencoba mencari kenikmatan dari tiap-tiap milimeter batang kejantanan yang menyesaki vaginanya.
“Begini doang kan, Tania Arneta?”
“Geraakin sayaaaang! Geraaakiiin!” wanita ini mulai meracau, pagutan sepasang tungkainya di pinggangku seolah menerjemahkan betapa ia membutuhkan stimulus lebih lanjut.
“I love you, Om Alfaaaah!”
Sejurus ia langsung mendekapku erat, mendaratkan sepasang bibir indahnya dan mulai menarikan lidah di bibirku. Ia sudah sangat bernafsu saat lidah kami saling menari, bersinergi dalam frekuensi berahi yang semakin membuncah di tubuh wanita ini.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
“Hmmmmmmph! Hmmmmmmmmph!”
Harmonisasi indah antara suara persanggamaan dan gumaman yang tercipta seolah langsung membangkitkan seluruh romansa yang menggema indah di ruangan ini.
Tubuh Tania menggelinjang semakin tak beraturan saat hunusan demi hunusan penuh nafsu menikam liang sanggamanya yang sudah terbiasa dengan pelirku.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Ia lalu memagut tubuhku begitu erat sejalan dengan getaran hebat terasa memusat di pinggulnya yang ia gerakkan seirama dengan gerakkan pinggulku.
Semuanya dibarengi dengan cengkeraman khas liang sanggama yang bersorak sorai merayakan kemenangan berahi yang akan terjadi.
“Hmmmmmmmmmmmmmmmmmph!”
Ia menciumku begitu ketat, sakit rasanya bibir ini ketika hisapannya terasa amat kuat, dibarengi dengan getaran tubuhnya, dan juga hentakan yang kuat di pinggulnya.
Tania Arneta akhirnya lumpuh dengan orgasme pertamanya.
Tubuhnya perlahan melemas, desir orgasmenya berangsur mereda seraya pagutan bibirnya ia lepaskan. Wajahnya masih sangat merah, kali ini disertai dengan seringai senyum yang terlontar menyuratkan kepuasan berahi.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Tanpa memberikannya jeda untuk mengambil seutas napas, pelirku sudah berasyik masyuk lagi, bermain dengan berahinya yang tampak belum selesai.
“Sayaaaangh! Aaaah! Pleaaseee! Aaaah! Tunggguuuh duluuuh!”
Rupanya Tania adalah tipe wanita yang butuh waktu sejenak sebelum bisa menikmati lagi orgasme berikutnya.
Alih-alih mengacuhkan lisannya, aku malah tetap menghajar tiap milimeter liang sanggamanya dengan tikaman brutal yang semakin lama semakin kuhentakkan.
“Aaaah! Ngiluuuu sayaaaang! Aaaah!”
Aku tidak peduli. Semakin ia berteriak kesakitan, semakin puas rasanya aku bisa menghabisinya.
Sekujur ingatanku langsung memutar imaji tentang apa yang terjadi semalam, saat kekasi Tania, Dhika, menzinahi istriku, bergiliran hingga Annastasia tidak sanggup lagi mengejang.
“Aaah! Ngiluuuuh! Enaaaaakh! Aaaah!”
“Kontoliiin aku sayaaaaang! Aaaah! Tapiiih ngiluuuh!”
“Memeeeek! Bahagiaaah! Peleeer Papaaah Alfaaah!”
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Tania terus meracau, dan dalam waktu singkat tubuhnya kembali bergetar. Seutas berahi itu terasa begitu dahsyat menghiasi desir di sekujur liang sanggama Tania yang kembali mencengkeram hebat.
Tidak kuat rasanya kutahan rasa ini, pelirku sudah tidak sanggup menahan dera liang sanggama kekasih Dhika ini.
Sleeeeeeph!
Kulepas pelirku dari vaginanya, “nungging Tan.”
Tania langsung mengubah posisinya, bersujud membelakangiku, memamerkan bongkah pantat montoknya yang begitu bersih.
Ia meninggikan pinggulnya, memudahkanmu untuk mengarahkan kejantananku untuk menjajahnya lagi.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaah!” Tania kembali melenguh, menikmati hunusan pelirku yang sudah menyumpal liang sanggama jalangnya.
Kugenggam lekuk pinggul Tania, seraya menikmati tiap-tiap milimeter stimulus yang menjalar ketika kejantananku terus membelah liang sanggamanya, menzinahi anak dari klienku sendiri.
Mudah bagiku untuk membelah liang kenikmatannya. Dan mudah pula bagiku untuk memanjakan tubuhnya yang sudah terdera oleh siksaan pelirku beberapa saat yang lalu.
“Teruuuus sayaaaang …,” Tania melenguh, “entooooth lagiiih.”
Sebagai laki-laki yang baik, kukabulkan permintaannya. Dengan tetap menggenggam lekuk pinggul wanita ini, kumainkan lagi kejantananku di liang sanggamanya yang langsung bereaksi hebat.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Entah, yang terpikirkan saat ini bukanlah lezatnya menikmati tubuh mahasiswi kedokteran yang alim ketika berada di luar rumah.
Aku malah membayangkan Annastasia.
Imajiku berlarian, seraya gambaran tentang tubuhnya yang diperkosa oleh lelaki-lelaki yang melihatnya disetubuhi olehku tadi pagi.
Mereka menikmati keindahan tubuh Annastasia yang jauh lebih indah ketimbang Tania.
Mereka mengecap lezatnya otot kewanitaan Annastasia yang jauh lebih mencengkeram ketimbang Tania.
Mereka menistakan payudara 36L Annastasia yang jauh lebih besar ketjmbang Tania.
“Aaaah! Enaaakh! Sayaaaangh! Memeeekh! Aaaah!”
Tania mulai meracau, tubuhnya menggelinjang seraya remasan liang sanggamanya mendera kejantananku yang sedari tadi menikmati bayang-bayang pemerkosaan kepada Istriku sendiri.
Sungguh aku semakin tergila-gila.
Aku semakin ingin banyak orang merasakan betapa lezatnya tubuh Annastasia di usianya yang sudah hampir tiga dekade.
Gerakanku semakin kacau, semakin kencang kuhentakkan pelirku di dalam liang sanggama Tania yang juga semakin meremas batang kenikmatanku.
Tubuh Tania bergetar hebat.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”
Wanita itu berteriak, sangat kencang, menikmati orgasmenya yang meledak begitu cepat.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Seraya masih kuhentakkan pinggulku, kuubah posisiku, kuangkat lebih tinggi pinggul Tania, dan seketika pula deraan impuls itu menerjang ujung lubang kencingku.
Kuhunuskan kuat-kuat pinggulku.
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeet!
Creeeet!
Creeet!
“Aaakh!” Tania tersentak tatkala menyadari mani haramku sudah menggenang di rahimnya.
Ia meronta begitu kuat, namun di posisi ini, tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menikmati kehangatan maniku yang meledak, melesat dahsyat ke dalam rahimnya.
Wanita itu lalu menerima keadaan ini, ia malah menekan dalam-dalam liang sanggamanya, seolah ikhlas memasukkan benih cintaku ke rahimnya.
“Enaaaakh sayaaaang pejunyaaaah.”
Aku lalu melepas pelirku, dan Tania masih bersujud, entah mengapa ia masih melakukan itu. Seolah ia membiarkan sel telurnya segera dibuahi oleh mani yang barusan tersembur.
“I love you, Papah Alfa.”
Hanya lisan itu yang terdengar seraya senyum terlontar begitu manis dari lisannya.
*****​
Sekejap setelah aku menyerahkan diska kepada Tania, aku segera pamit, berharap bisa beronani sambil menonton Annastasia digauli banyak laki-laki.
“Om,” panggil Tania, “Tania boleh ikut?”
Aku hanya memandangnya heran, “ngapain emangnya?”
“Gak apa,” ujarnya, memandangku dengan wajah yang masih merah, “Tante Anna kan izinin Om Alfa ngewein siapa aja kan?”
Kuanggukkan kepala pelan, “terus?”
“Aku mau maen bertiga sama Tante Anna, boleh?”
Deg!
Apa-apaan wanita ini?
“Because I love you, Om.”
“You know how to please a woman like me.”
Kuhela napas panjang, “well, tapi aku yakin Anna lagi digilir sama laki-laki di hotel.”
Wajah Tania seketika berubah, ia lalu menyerahkan ponselnya kepadaku, dan di sana ada video dari kontak Telegram Annastasia.
Aku hanya memandang Tania, “ini barusan kirim?”
Dengan senyuman penuh arti, ia mengangguk, “join boleh ya Papah Alfa.”
Deg!
Ini tidak mungkin, sungguh
Dengan beringas kuangkat tubuh Tania ke atas bagasi belakang kendaraan ini. Wajah binal Tania begitu menggairahkan terlihat di balik kacamata, semakin membuatnya sensual.
Dengan mudah, aku bisa melebarkan tungkainya; kedua telapaknya masih beralaskan sepatu sneakerberwarna kuning yang tampak menyala di kulitnya yang putih.
Ia terus tersenyum, mengembangkan semboyan syahwat yang amat kental tersurat dari helaan napas yang begitu berat.
Aku mulai menyukai pemandangan ini, menzinahi perempuan yang masih mengenakan hijab namun tubuhnya dibiarkan terhina tanpa untaian benang apapun di atasnya.
“Lonte Tania siap dibayar lebih murah dari lonte Annastasia, tuan Papah,” goda Tania, seraya kedua tangannya memilin sendiri puting payudara cokelatnya yang mungil dan indah.
“Gimana kalo gratis,” ujarku seraya mulai menjajah liang sanggama Tania yang begitu mudah ditaklukan.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
Satu tikaman kuat dan panjang menjadi mukadimah simfoni berahi wanita ini; diikuti dengan notasi mayor, teruntai penuh syahwat dari lisan indah Tania yang langsung kubungkam dengan bibirku.
Rasa hangat dan ketat liang sanggama Tania langsung terasa begitu menggelitik seluruh saraf pelirku.
Basah sisa perzinahan yang diakhiri dengan letupan benih cintaku di dalam rahimnya bahkan masih begitu kentara di sana.
Menggelontorkan sensasi yang begitu luar biasa.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Kuhunuskan jajahan pelirku berulang kali di dalam lubang kencing Tania. Wanita itu merespons begitu cepat dengan menyamakan ritme pinggulku.
“Hmmmmmmmmph! Hmmmmmmmmmph!” Tania menggumam begitu menggairahkan ketika tikaman demi tikaman mengabit seluruh syahwat ini untuk segera dituntaskan.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Pinggulku seolah tidak lelah untuk bergerak, menikmati pijatan liang sanggama Tania yang semakin lama semakin terasa begitu kuat, bersorak riang menerima rangsangan pelirku.
Kuputar lagi video perzinahan Annastasia yang langsung meningkatkan syahwatku ke mode afterburner, sekonyong-konyong membuka keran berahi begitu deras.
Sungguh desakan syahwat ini begitu dahsyat bersirkulasi di seluruh tubuhku, mengaliri tiap-tiap tepian dengan kenikmatan yang benar-benar tidak pernah kurasakan sebelumnya.
“Buntingin Taniaaah Paaaaah! Pejuin yang banyaaaaaakh!”
“As you wish, whore!” bisikku di telinganya.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Seluruh kelezatan berzinah ini santer terkecap, menjalar di seluruh batang kenikmatanku, dan berakhir dengan rasa geli yang meledak begitu dahsyat di lubang kencingku.
Kuhentakkan begitu kuat pelirku di liang sanggama Tania. Kutuntaskan semua beban syawhat itu di liang sanggama kekasih Dhika ini.
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeet!
Creeeet!
Creeet!
“Aaaaaaaah!” Tania melenguh seraya hujan glycoprotein makin membasahi liang sanggamanya.
“Teruuush Paaaah! Jangaan mikirin Taniaaaaah!”
“Pakee teruuuuush memek Taniaaah!”
“Taniaaaah lonteeenyaaah Papaaah Alfaaaaah.”
Ia bahkan tidak mempedulikan kenikmatan pada dirinya. Ia bertingkah seperti itu semata agar aku terus berhasrat menzinahinya.
“Puasiiiin peleeer kamuuuuh, sayaaang!”
Ia makin melebarkan tungkainya, membuatku semakin leluasa menyetubuhinya, bahkan Tania menahan paha sintalnya dengan kedua tangannya sendiri.
Berahi itu masih terkonstelasi begitu pekat, memenuhi asaku dengan nafsu binatang yang seolah tiada pernah bisa terbendung tatkala tubuh sintal Tania langsung memagut erat ragaku.
Mentranslasikan seluruh hasratnya dalam tiap-tiap embusan napas yang terasa begitu berat terhela dari hidungnya.
“Jangaaanh mikirin Taniaaah, sayaaaangh,” lenguh Tania, “pakeee memeekh Taniaaaah sampeeh peler Papaah lemeeesh.”
“Taniaaaah itu budakmuuh Paaaah!”
“Taniaaaah itu anjiiiing peliharaaan Papaah Alfaaaah!”
“Taniaaah Arnettaah gak pantesssh dapeth orgasmeeeeh!”
Deg! Deg! Deg!
Jantungku berdetak semakin kencang seraya frasa yang teruntai dari lisan Tania seolah mengukuhkan kedudukannya sebagai hewan peliharaan, seperti yang ia inginkan.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Kugerakkan lagi pinggulku, seluruh berahi itu menghentikan segala instrumen hatiku, hanya naluri hewani yang terus menerus mendelegasikan syahwat dalam deraan siksa yang begitu kunikmati.
Tubuh Tania begitu mudah kukuasai kini, aku bisa melakukan apapun kepadanya tanpa ada perlawanan. Bahkan semakin lama, Tania menyinkronkan irama persanggamaan ini.
Semata-mata untuk memuaskan dahaga syahwatku yang tiada pernah terputus. Membiarkan dirinya menjadi objek seksual yang seolah hanya tercipta hanya untuk memenuhi nafsu bejatku yang semakin lama semakin mengendap di sekujur pelirku.
Sungguh, tubuh indahnya yang dibiarkan terhina, menyisakan hijab yang semakin membuatnya lezat untuk dizinahi. Aku bahkan berulang kali mencumbu bibir dan juga putingnya yang kulekatkan erat-erat di tengah.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
“Jangaaaan kasiiih ampuuunh Paaaah!”
“Nonooookh Taniaaaah cumaaa buat muasin nafsuuuh Papaaah!”
Ia meracau seraya gelombang syahwatnya semakin menjadi-jadi. Tubuhnya semakin mendekapku erat, bahkan ia menekan-nekan begitu ketat pinggulnya, mengimbangkan irama persanggamaan yang semakin panas.
“Aaaaaaaaaaaaah! I loveee yoouuuu Papaaaah Alfaaaaaaaaaaah!”
Orgasme meledak, tubuhnya kupagut erat-erat seraya memberikannya kenikmatan yang begitu dipuja kaum hawa ketika pelirku lancang bermain syahwat di liang sanggama mereka.
Tania menyerah, ia tidak bisa menahan gempuran pelir yang sedari tadi tiada lelah keluar masuk di liang sanggama kekasih Dhika yang saat ini takluk oleh taji berahiku.
“Maaafh Paaaah!”
Kugelengkan kepalaku, “gak masalah Tan.”
Sleeeeeeeeeeph!
Kulepaskan pelirku dari jajahannya yang langsung menganga, meninggalkan denyut yang terlihat jelas seraya melelehkan benih cintaku dari sana.
“Paaah! Maafiiinh Taniaaah!” Tania melenguh, seraya menarik kembali pelirku untuk menistakan lagi liang sanggamanya.
Kugelengkan kepala, “simpen buat di kamar aja Tan.”
“Sekarang, aku mau kamu duduk di kursi penumpang tanpa baju kamu.”
Napasnya begitu berat di atas wajah merahnya yang hanya memandangku bersama seutas senyuman, diakhiri anggukan kepala yang mengafirmasi permintaanku barusan.
*****​
Selisih jengkal di antara tempat kami beradu berahi dengan hotel hanyalah lima menit. Namun, kuputar setir rack-and-pinion yang diperbantukan oleh electronic power steering menjauhi perimeternya.
Aku sangat menikmati pemandangan sabuk pengaman tiga titik yang jelas membelah payudara besarnya saat ini. Awalnya ia tampak begitu malu, wajahnya merah padan tatkala aku sengaja berjalan pelan di sekitar Jalan Setiabudi dan menuruni aspal Jalan Cihampelas yang cukup ramai di penghujung siang ini.
Keempat Pirelli P7 Cinturato ini terus merobek hotmix kota Bandung, menyusuri tiap jengkalnya dengan begitu gagah, membiarkan banyak mata yang kadang sengaja memperhatikan keindahan tubuh Tania yang tersembunyi di balik AGC DOT20 berlapiskan kaca film dengan indeks 60% besutan Haverkamp.
“Pah,” panggilnya manja, “Tania dingin nih.”
Seketika aku langsung membuka plafon yang menghalangi semburan sinar sol menembus sunroof di atasnya, “mau dimatiin juga kah A/C nya?”
Ia menggelengkan kepalanya pelan, “nanti Papah yang gerah.”
Laju kami pun terhenti di lampu merah persimpangan akses Gerbang Tol Kopo yang terkenal ramai pada hari menjelang senja ini.
Beberapa mata tampak terbelalak melihat sosok Tania yang berhijab namun tubuhnya tidak ditutupi selembar kain. Beberapa bahkan ada yang sempat mengambil ponselnya untuk mengabadikan pemandangan tersebut, nahas lampu hijau seolah tiba-tiba menyala, mengusir lekas-lekas seluruh pelahap hidrokarbon untuk enyah dari sana.
Kami tertawa, menikmati sensasi ini. Terlebih Tania, tekadnya benar-benar paripurna untuk mengabulkan segala keinginanku.
Melintasi Kota Bandung yang terkenal dengan banyak persimpangan membuat Tania malah menikmati, hingga kami terhenti di persimpangan menuju arah Dago, tepat di sebelah W222 hitam yang merupakan kendaraan milik Pak Endro.
“Pah, itu ada Papa.”
Nadanya melemah seraya supir Pak Endro langsung mengenali kendaraan ini dengan melantunkan irama mayor pendek dua kali, terharmonisasi dari sepasang klakson besutan Clarton Horn.
“Gimana ya Tan, kalo supir kamu tahu keadaan kamu sekarang?”
“Pa … Pah,” lenguhnya pelan.
“Aku tau supir kamu curi pandang ke kamu pas terakhir aku ke sana.”
Ia menangguk pelan, “gimana gak ngeliatin aku Pah, soalnya aku kan jarang tampak pake baju gitu.”
“Pas ada Dhika?” selidikku singkat.
Ia menggeleng, “Papah Alfa pokoknya prius meun Tania.”
Kuhela napas, tampak ada ketulusan teruntai saat ia mengucapkan frasa itu, “mau jadi pelakor ceritanya Tan?”
Ia menggeleng cepat, “gak mungkin Papah berpaling dari Tante Anna kan?”
“I mean,” ujarnya pelan seraya embusan napas pendek teralun, “she just too perfect.”
“Physically, intelligently, even the whore side.”
Kuanggukkan kepalaku pelan, “V12 twin turbo.”
“Tenang, halus, tapi begitu liar, meskipun cuma satu sentuhan kecil.”
“Itulah,” tukasnya singkat, “kan bego kalo sampe Papah bisa kegoda sama seorang Tania Arnetta.”
“Pak Endro gak sampa supir kamu kan Tan?” tanyaku seraya meletakkan telunjukku di tombol pengoperasian jendela mobil.
Ia menggeleng cepat, “enggak Pah, tapi,” ujarnya ragu.
Seraya lampu lalu lintas berubah hijau, kulantunkan klakson pendek, kubuka penuh kaca jendela penumpan depan, sejenak berhenti lalu menekan pedal gas yang direspons dengan momen puntir yang melesatkan kendaraan dengan berat kosong dua ton ini.
Segera kututup kaca jendela yang disambut dengan wajah cemberut Tania, aku lalu tersenyum seraya mengusap kepala Tania.
Habis sudah harga dirinya di Kota Bandung sore ini.
Demikian artikel tentang cerita Slutty Wife Anastasia: Cerita Seks Istri Cantik Dan Sintal Digenjot Dan Digangbang Kontol Lain Bersama Suami Cuckold Part 2.
ABG BISPAK TELANJANG, BOKEP INDONESIA, cerita ABG, cerita bokep dewasa, cerita bokep hot, cerita bokep indonesia, cerita bokep mesum, cerita bokep seks, cerita bokep terbaru, cerita dewasa, cerita dewasa indonesia, cerita dewasa terbaru, Cerita Eksebionis, Cerita Janda, cerita mesum, Cerita Mesum Dewasa, cerita mesum hot, cerita mesum indonesia, cerita mesum panas, cerita mesum terbaru, cerita mesum terkini, CERITA NGENTOT JANDA, CERITA NGENTOT PEMBANTU, CERITA NGENTOT PERAWAN, cerita panas, cerita panas terbaru, cerita seks dewasa, CERITA SEKS INDONESIA, cerita seks panas, CERITA SEKS SEDARAH, cerita seks terbaru, CERITA SELINGKUH, cerita sex, cerita sex dewasa, Cerita Sex Indonesia, Cerita Sex Panas, cerita sex terbaru, CERITA SKANDAL, CERITA TANTE GIRANG, CEWEK TELANJANG, FOTO BUGIL, TANTE GIRANG, TOKET GEDE MULUS

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *